Nama : Rizka Lilis Karina
NIM : 1406161
Kelas : 2B Pendidikan Sosiologi
Kuliah Kerja Lapangan Kabupaten Garut, Jawa Barat
Pada
tanggal 26 Februari 2015 saya dan teman-teman dari angkatan 2014 melakukan salah satu kegiatan yang
memang diwajibkan untuk seluruh mahasiswa pada tahun ajaran 2014 yaitu KKL atau
Kuliah Kerja Lapangan ke Kabupaten Garut, Jawa Barat.
KKL
ini sifatnya wajib maka jika angkatan 2013 yang belum melakukan KKL pada tahun
kemarin maka mereka melakukan KKL pada tahun ini bersama kami mahasiswa
angkatan 2014. Ada beberapa kakak tingkat dari tahun 2013 yang mengikuti KKL
bersama kami.
Kami
berkumpul di kampus tepatnya di depan BNI pada pukul 05. 00
WIB. Saat itu sudah banyak yang berada di depan ATM BNI tersebut. Tujuan kami
berkumpul pada jam 05. 00 WIB agar menghindari kemacetan saat
menuju Garut tersebut. Waktu yang ditempuh untuk menuju Garut diperkirakan
memakan waktu sekitar 2 jam dari Kota Bandung. Maka kemungkinan kami akan berada
di Kota Garut pada pukul 07. 00 atau 08. 00.
Perjalanan
kami menuju Kota Garut pada pukul 06. 00 WIB. Kami melakukan
perjalanan dengan menggunakan bus. Karena kami berangkat menuju Kota Garut dimulai
dari jam 06. 00, maka kami tiba di Kota Garut pada jam 08.30.
Kami
tidak menuju pendopo seperti yang telah direncanakan sebelumnya tetapi kami menuju
Balai kota Kabupaten Garut. Kuliah Kerja Lapangan ini di pimpin oleh seorang
Bupati Garut tersebut yang bernama H. Rudy Gunawan, SH, MH, MP yang menjabat
sebagai bupati dari tahun 2014 hingga 2019 mendatang.
Bupati
Garut tersebut memaparkan sejarah tentang sejarah asal mula nama Garut, luas
wilayah beserta jumlah penduduk Kota Garut, serta kearifan lokal kota Garut
tersebut. Sejarah nama Garut tersebut yakni pada mulanya dari pembubaran Limbangan yang terjadi pada
tahun 1811 oleh Daendels, dengan alasan produksi kopi dari daerah Limbangan
menurun hingga titik paling rendah dan bupatinya menolak perintah menanam nila
(indigo). Kota Limbangan tersebut juga terkenal dengan nama GURILAB (Gunung,
rimba, laut, dan budaya). Pada tanggal
16 Februari 1813, Letnan Gubernur di Indonesia yang pada waktu itu dijabat oleh
Raffles, telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali
Kabupaten Limbangan yang beribu kota di Suci. Namun Suci dinilai terlalu sempit
untuk ibu kota, maka dari itu ibu kota dipindahkan. Pada tanggal tersebut juga
ditetakannya sebagai ulang tahun Kota Garut.
Bupati Limbangan pada saat itu, Adipati
Adiwijaya yang menjabat pada tahun 1813 hingga 1831 membentuk sebuah panitia
untuk mencari tempat yang cocok untuk Ibu Kota Kabupaten. Pada awalnya, panitia
menemukan Cimurah, sekitar 3 Km sebelah timur Suci yang saat ini kampung
tersebut dikenal dengan nama Kampung Pidayeuheun. Tetapi air bersih pada kampung
Pidayeuheum tersebut sulit diperoleh, maka kampung tersebut tidak dijadikan
sebagai tempat ibu kota. Selanjutnya, mereka mencari ke arah barat Suci,
sekitar 5 Km dan mereka mendapatkan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai
ibu kota. Tempat tersebut memiliki tanah yang subur, tempat tersebut juga memiliki
mata air yang mengalir ke Sungai Cimanuk serta memiliki pemandangan yang indah
dengan dikelilingi oleh gunung-gunung, seperti Gunung Cikuray, Gunung
Papandayan, Gunung Guntur, Gunung Galunggung, Gunung Talaga Bodas dan Gunung
Karacak.
Saat ditemukannya mata air berupa
telaga kecil yang tertutup oleh semak belukar berduri (Marantha), tangan seorang
panitia tergores hingga berdarah. Dalam bahasa setempat, tergores dinamakan
“Kagarut”. Seorang warga Negara Eropa langsung bertanya “Mengapa
berdarah?" sesorang yang tergores tersebut menjawab bahwa tangannya
kakarut. Orang yang bernegara Eropa tersebut menirukan dengan tidak fasih
sehingga menjadi “gagarut”.
Dari kejadian itu, para pekerja yang
berada dalam rombongan tersebut menamai tanaman berduri dengan sebutan “Ki
Garut” sedangkan telaganya mereka menamai dengan “Ci Garut”. Karena telah
ditemukannya Ci Garut, daerah yang berada disekitar tempat tersebut dikenal dengan
nama “Garut”. Nama Garut tersebut mendapat persetujuan oleh Bupati Kabupaten
Limbangan, Adipati Adiwijaya untuk dijadikan sebagai ibu kota Kabupaten
Limbangan.
Peletakan batu pertama pembanguanan
sarana dan prasarana dilakukan pada tanggal 15 September 1813. Bupati serta
pejabat pemerintahan lainnya memberikan pidato di depan publik, di depan pendopo yang berada diantara
alun-alun dan pendopo tersebut terdapat “Babancongan”. Babancongan juga pada
saat ini digunakan sebagai tempat untuk perayaan ulang tahun Garut, sebagai
tempat untuk melakukan upacara 17 Agustus, serta sebagai lambing kehormatan
Garut.
Setelah tempat-tempat yang sudah
direncanakan untuk menjadi ibu kota tersebut selesai dibangun, ibu kota
Kabupaten Limbangan tersebut pindah dari Suci ke Garut sekitar tahun 1821. Berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Jenderal No: 60 tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten
Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut dan beribu kota Garut pada tanggal 1
Juli 1913. Saat itu bupati yang sedang menjabat adalah RAA Wiratanudatar
(1871-1915). Saat itu Kota Garut meliputi tiga desa, yakni Desa Kota Kulon,
Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati. Kabupaten Garut yang meliputi
Distrik-distrik Garut, Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan,
Cikajang, Bungbulang dan Pameungpeuk.
Pada tahun 1915 RAA Wiratanudatar
digantikan oleh keponakannya yaitu Adipati Suria Karta Legawa pada tahun
1915-1929. Ia memerintah pada tanggal 14 Agustus 1925, berdasarkan keputusan
Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah pemerintahan yang
berdiri sendiri (otonom). Selama periode 1930-1942, Bupati yang menjabat di
Kabupaten Garut adalah Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa. Ia diangkat menjadi
Bupati Kabupaten Garut pada tahun 1929 menggantikan ayahnya Adipati Suria Karta
Legawa pada tahun 1915-1929.
Setelah
beliau memaparkan asal mula nama Garut tersebut, beliau juga menjelaskan bahwa
luas wilayah Kota Garut yakni dua kali liat dari Kota Bandung. Dengan jumlah
penduduknya 3,1 juta jiwa yang tersebar di 42 kecamatan dan 402
desa atau kelurahan. Pergantian bupati di Kota Garut telah mencapai 27 kali.
Garut
terbagi menjadi 2 wilayah, yakni Garut Utara dan Garut Selatan. Pada Garut
Utara terdapat banyak sekali pegunungan dan laut. Sedangkan pada Garut Selatan
akan dijumpai berbagai macam bangunan-bangunan industri, pariwisata, serta
berbagai macam kuliner yang sudah terkenal dari Kota Bandung seperti cokodot,
dodol garut, serta bakso.
Wisata
alam yang ditawarkan oleh Kota Garut ini yakni Gunung Papandayan, Talaga Bodas,
Gunung Drajat, Ranca Buaya, dan Pantai Santolo. Wisata alam yang sudah modern
pun sudah di miliki Kota Garut, salah satunya Arum Jeram yang berada di
Cimanuk, Garut Selatan. Pantai Santolo termasuk pantai ke 2 terindah dari
pantai Pangandaran. Pada tahun 2016 direncanakan akan dibuat jalur lingkar
Cipanas yang berada di kaki bukit Gunung Guntur dengan lebar 25 meter dan
memiliki pemandangan yang sangat indah seperti di Hongkong. Pada jalur lingkar
Cipanas ini direncanakan akan di bangun sebuah hotel baru bintang lima di
daerah Cipanas yang berada di kawah Papandayan dengan tarif 1 hari menghabiskan
biaya 4 juta rupiah.
Kota
Garut masih memiliki kebudayaan yang masih di lestarikan hingga saat ini. Salah
satunya masih terdapat komunitas Kampung Duku yang terbagi menjadi Kampung Duku
dalam dan luar. Selain itu terdapat makam gidok dimana masih terdapat pusaka-pusaka
peninggalan pada zaman dahulu. Pusaka-pusaka keramat tersebut selalu
dibersihkan pada saat mulud. Disamping itu,
terdapat makam keramat Cirunyuk yang terkenal dengan 7 pancurannya.
Masyarakat biasa menamainya dengan pancuran 7. Di Kota Garut juga terdapat
makam yang biasa digunakan untuk berziarah yakni Limbangan Sunan Cipancang. Kota
Garut juga memiliki sumber mata air dan masih dipegang erat dari zaman dahulu
dengan nama kawin cai. Masih banyak sekali peninggalan yang sampai sekarang
masih dilestarikan salah satunya Kota Garut memiliki candi hindu, yakni makam
Syekh Muhammad.
Kota
Garut ini selain terkenal dengan wisata alam yang menakjubkan, Kota yang satu
ini terkenal pula dengan dombanya. Domba Garut adalah salah satu ikon Kota Garut
itu sendiri disamping kulinernya, dodol garut. Domba Garut ini pada tanggal 21
Februari 2014 telah diadakan domba
catwalk. Masyarakat sering sekali menjadikan domba untuk di adu dengan
domba yang lainnya, hal ini sebagai seni ketangkasan domba.
Masyarakat
yang ada di Kota Garut masih memegang erat gotong royong. Tak heran Kota Garut
ini mendapatkan juara ke tiga se-Nasional tentang gotong royong ini. Selain terkenal
dengan wisata alam yang sangat indah, peninggalan yang masih di lestarikan
hingga saat ini, Kota Garut juga terkenal dengan masyarakat yang masih
menerapkan gotong royong.
Setelah kami mendapatkan
informasi secara singkat dari Bupati Garut, Rudy Gunawan, kami ISOMA
atau istirahat, makan, dan solat terlebih dahulu. Setelah kami melakukan
ISOMA, kami melanjutkan perjalanan Kuliah Kerja Lapangan kami ke
Kampung Naga yang berada di Tasikmalaya.